BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 26 Desember 2008

PENETAPAN BATAS ZEE INDONESIA – MALAYSIA DI SELAT MALAKA

Oleh : Drs. Haris D. Nugroho, M.Si.

1. Pendahuluan

Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam di laut semakin lama semakin berkembang, sehingga diperlukan pembatasan – pembatasan agar tidak membahayakan kepentingan negara lain. Oleh karena itu Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi PBB I tentang hukum laut di Jenewa tanggal 24 Februari s/d 29 April 1958. Konferensi ini menghasilkan 4 (empat) kovensi, namun hasil konferensi belum memuat ketentuan lebar laut wilayah dan batas zona ekonomi [1]. Selanjutnya PBB mengadakan konferensi hukum laut ke III, sidang berlangsung hingga sebelas kali dan pada 30 April 1982 berhasil menyepakati konvensi tentang hukum laut (United Nations convention on the Law of the Sea / UNCLOS’82) dan konvensi mulai berlaku (enter into force) tanggal 16 November 1994.

Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS’82 dengan UU. No : 17 tahun 1985 , hal – hal fundamental yang diatur dalam konvensi ini adalah diterimanya konsepsi negara kepulauan (Archipelagic State) , ditetapkannya lebar laut wilayah (teritorial) 12 NM, batas zone ekonomi eksklusif (ZEE) 200 NM dan batas landas kontinen. Dengan berlakunya ketentuan UNCLOS’82, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan secara formal telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk mengenai hak – hak dan kewajiban yang melekat pada wilayah – wilayah negara kepulauan. Untuk itu sebagai negara kepulauan Indonesia dapat menerapkan ketentuan yang ada dalam konvensi khususnya yang berkaitan dengan aspek penetapan batas laut Indonesia dengan negara – negara tetangga.[2] .

Batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka telah ditetapkan oleh kedua negara dengan melakukan perjanjian batas landas kontinen yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini masih berdasarkan ketentuan – ketentuan hasil konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958, dimana hasil konferensi ini masih belum memuat ketentuan tentang batas zona ekonomi. Sebagai implementasi lahirnya UNCLOS’82 , Indonesia berupaya untuk menetapkan batas maritim dengan Malaysia terutama batas laut ZEE di perairan Selat Malaka .

Batas ZEE dengan Malaysia di Selat Malaka sampai saat ini belum pernah dirundingkan dan diperjanjikan sehingga Indonesia menganggap masih bermasalah dan mendesak Malaysia untuk segera diselesaikan. Selama ini Malaysia menganggap perjanjian batas landas kontinen dengan Indonesia tahun 1969 sekaligus juga batas ZEE (single maritime boundaries). Pendapat Malaysia ini , telah melanggar prinsip dan ketentuan dalam konvensi UNCLOS’82 karena rejim hukum dan ketentuan dalam ZEE pada pasal 55, 56 dan 57 berbeda dengan rejim hukum dan ketentuan landas kontinen pada pasal 76 , sehingga dengan adanya pendapat Malaysia di atas bangsa Indonesia akan dirugikan baik dari segi politik, ekonomi dan hankam.

Dengan penetapan batas ZEE yang baru tentunya Indonesia akan diuntungkan, karena garis batas ZEE Indonesia dengan Malaysia akan berada di sebelah kanan garis batas landas kontinen atau mengarah ke pantai Malaysia . Keuntungan lain yang diperoleh Indonesia dengan adanya garis batas ZEE baru adalah wilayah perairan Indonesia akan bertambah luas dan dengan sendirinya akan diperoleh keuntungan secara ekonomi karena sumberdaya perikanan di daerah tersebut sangat melimpah. Sedangkan keuntungan politis yang diperoleh pemerintah Indonesia adalah, hasil exercise penetapan garis batas ZEE di Selat Malaka dapat digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan apabila hasil penetapan dipakai sebagai klaim unilateral garis batas ZEE Indonesia di Selat Malaka maka dapat dipakai sebagai batas operasional kapal – kapal TNI AL dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di Selat Malaka.

2. Batas Maritim Indonesia Dengan Malaysia di Selat Malaka

Indonesia dengan Malaysia telah menyepakati penetapan garis batas landas kontinen terletak di perairan Selat Malaka pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini menyetujui penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan (pantai Timur Malaka) [3]. Penetapan titik – titik koordinat secara teknis menggunakan ketentuan – ketentuan pada konferensi PBB I tahun 1958 termasuk dan oleh Malaysia secara sepihak perjanjian batas landas kontinen dianggap sekaligus garis batas ZEE (single line), sedangkan Indonesia menganggap batas ZEE kedua negara belum pernah dirundingkan sehingga belum ada batasnya dan menurut ketentuan UNCLOS’82 batas landas kontinen tidak harus sama dengan batas ZEE.

Perjanjian batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia di perairan Selat Malaka tahun 1969 , secara teknis dan yuridis sangat merugikan Indonesia . Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam penetapan batas tersebut menggunakan titik – titik dasar dan garis dasar pada air rendah (kontur nol) di pantai Timur Sumatera seperti tercantum dalam UU. No : 4 / Prp. Tahun 1960, sedangkan Malaysia menarik garis dasar dari Pulau Jarak ke Pulau Perak sejauh 123 NM ( < style=""> ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS’ 82 dimana pada Pasal 47 ayat (2) hanya membolehkan maksimal 100 NM. Disamping itu sebagai negara pantai (coastal state) Malaysia seharusnya menarik garis dasar dari main island bukan dari Pulau Jarak ke Pulau Perak yang sangat jauh dari pantai, hal ini menyebabkan penetapan batas landas kontinen hasil perundingan tahun 1969 sangat merugikan Indonesia karena garis batasnya cenderung masuk ke arah pantai Indonesia . Peta perjanjian landas kontinen Indonesia dengan Malaysia tahun 1969, lihat gambar 1.

Berdasarkan kondisi di atas maka, Indonesia tentunya harus melakukan revisi atau mengkaji ulang hasil perjanjian landas kontinen tahun 1969. Kondisi geografis pantai Indonesia dan pantai Malaysia di perairan Selat Malaka yang saling berhadapan maka , berdasarkan ketentuan Pasal 74 UNCLOS’82 dan Point 6. Bilateral Boundaries TALOS Sp. No. 51 1993 penetapan garis batas ZEE dapat direkonstruksi menggunakan metode garis tengah (median line) untuk mencapai pemecahan yang adil .

3. Penetapan Batas ZEE Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka

Penarikan garis batas ZEE Indonesia dengan Malaysia di perairan Selat Malaka ditetapkan berdasarkan metode garis tengah (median line) yang diukur dari titik dasar (TD) di kedua pantainya metode ini bereferensi pada Pasal 74 Ayat (1) UNCLOS 1982 dan teknis penggambarannya berdasarkan referensi ketentuan Point 6 Bilateral Boundaries Between Opposite States, TALOS Sp. No. 51 tahun 1993.

Rekonstruksi penetapan garis batas ZEE pada wilayah yang berhadapan di Selat Malaka antara Indonesia dengan Malaysia, dilakukan dengan menggunakan software Map Info dari sources peta laut digital no. 353 dan peta laut lain di wilayah tersebut untuk menjaga akurasinya dilakukan juga pengecekan secara kartografis di peta - peta laut tersebut. Hasil penetapan batas ZEE Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka yaitu garis batas ZEE yang menghubungkan koordinat titik batas (TB) yang berada paling Utara hingga titik batas (TB) yang berada di sebelah Selatan.

Garis batas ZEE yang dihasilkan dari penetapan di atas mempunyai cakupan perairan yang lebih luas dibandingkan cakupan perairan hasil perjanjian batas landas kontinen tahun 1969. Apabila konsep penetapan batas ZEE di Selat Malaka dihitung luasnya mulai dari garis dasar (baseline) sampai ke garis batas ZEE , maka Indonesia memperoleh cakupan perairan sebesar 36.700 km2 , lihat pada gambar 2 .

Sedangkan perhitungan luas batas landas kontinen berdasarkan perjanjian tahun 1969 Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, mulai dari garis dasar (baseline) sampai garis batas landas kontinen diperoleh cakupan perairan sebesar 22.670 km2 , lihat pada gambar 3 .

Apabila dilakukan perhitungan untuk memperoleh selisih antara , luas perairan batas landas kontinen perjanjian tahun 1969 dengan luas perairan penetapan batas ZEE hasil rekonstruksi , maka diperoleh hasil sebagai berikut : (36.700 - 22.670) km2 = 14. 030 km2 ~ 7.576 NM2 .

Asumsi perundingan Indonesia dengan Malaysia menyetujui konsep penetapan batas ZEE di Selat Malaka di atas maka, bangsa Indonesia akan mendapat keuntungan tambahan perairan yang mempunyai hak berdaulat sebesar 14. 030 km2 atau 7.576 NM 2 .

4. Kesimpulan

a. Batas maritim Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka sampai saat ini masih bermasalah karena Malaysia menganggap perjanjian batas landas kontinen dengan RI tahun 1969, sekaligus juga batas ZEE (single maritime boundaries) , sedangkan Indonesia menganggap belum pernah melakukan perjanjian batas ZEE dan berdasarkan ketentuan UNCLOS’82 batas landas kontinen dan batas ZEE ketentuan rejimnya berbeda .

b. Indonesia harus mengkaji ulang hasil perjanjian landas kontinen tahun 1969 dengan melakukan rekonstruksi penetapan garis batas ZEE Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka .

c. Hasil rekonstruksi penetapan batas ZEE Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, menggunakan metode garis tengah (median line) maka Indonesia memperoleh keuntungan tambahan cakupan perairan yang mempunyai hak berdaulat sebesar 14. 030 km2 atau 7.576 NM 2 .



[1] Mauna Broer, Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 272-273.

[2] Agusman Damos, Perspektif Penyelesaian Perjanjian Batas Maritim Antara Indonesia Dengan Negara Tetangga, Deplu, Jakarta, 2005, hal.4.

[3] Dishidros TNI AL , Pointers Bata Maritim RI - Malaysia, Dishidros TNI AL , Jakarta, 2004, hal 1.

Senin, 08 Desember 2008

Indonesian Continental Shelf Boundaries and Area Prospect Calaim beyond 200 NM

Drs. Haris Djoko Nugroho, M.Si

1. INTRODUCTION

As an archipelagic country Indonesia has direct territorial water which bordered several neighboring states. There are 10 state which the territorial water bordered directly with Republic Of Indonesia they are, that is : Malaysia, Singapore, Thailand, India, Philippine, Vietnam, Papua Nugini, Australian, Palau and of Timor Leste.

The delimitation of maritime boundaries is of vital importance for the agenda of law enforcement and sovereignty of Indonesia jurisdiction region in sea, management of natural resources and developing economic in the ocean.

Delimitation of maritime boundaries of with neighbor state is conducted to the rule of International Maritime Law, and at the moment use rule of Convention of UN on Maritime Law ( UNCLOS 1982) which have ratified by Government of Indonesia with UU. No. 17 1985. Implementation of the ratification for example is needed for management of maritime boundary covering sea boundary with neighboring state, and boundary go out to sea with high seas.

The problems concerning of maritime boundaries between Government of Indonesia with neighboring state in the reality till now have not yet been finished. Boundary of Maritime Republic Of Indonesia with neighboring state cover :

- Boundaries Territorial Sea

- Boundaries Of EEZ

- Boundaries Sea Floor or Continent Shelf



Delimitation of maritime boundaries with neighbor countries are needed to obtain rule of law enforcement which is able to support various activity on the waters like, straightening of law and sovereignty in sea, fishery, maritime tourist, off shore exploration , marine transportation go out to sea and other.

2. THE CONTINENTAL SHELF BOUNDARIES BETWEEN REPUBLIC OF INDONESIA WITH NEIGHBORING STATE

Indonesia have continental shelf boundary with a few neighboring states , other , as follows :

a. IndonesiaVietnam

The agreement on the coordinate points of states continental shelf limits between Republic of Indonesia and Vietnam have been agreed and signed by foreign minister of Indonesia and Vietnam, who represent both states respectively on June 26th 2003 in Hanoi. The signatory of this agreement has already realized and attended by leader of both states, Republic of Indonesia and Vietnam, and this agreement has been agreed from various deliberates which executed since 1978, it take approximately 25 year (see figure 1)

The out come of the agreement between Republic of Indonesia – Vietnam, will be taken action in advanced with ratifying it on an act by Indonesian government and Foreign affairs department of Indonesia has established its time schedule referred to this agreement and arranged the planning of this ratification till the agreement will be approved by Republic of Indonesia parliament .

In this case, Indonesian and Vietnam party for continental shelf should analyze and examine the limit of Exclusive Economic Zone (EEZ) so as to implement the agreement of establishment of EEZ limits between both states immediately.

b. IndonesiaAustralia

The agreement of maritime limits (Limits of Exclusive Economic Zone and Continental Shelf) between Republic of Indonesia and Australia have been carried out 3 (three) times, firstly is the agreement of Continental Shelf limits on May 18th 1971, which ratified by Republic Indonesia Presidential decree no .42 Year 1971. Then Continued on October 9th 1972 which ratified by Republic Indonesia Presidential decree no. 66 Year 1972, and these agreement cover the comprehensive maritime limits agreement between Indonesian and Australia, which signed by both foreign minister of both states who represent Indonesia in 1997. The agreement of this year is not yet ratified by Indonesian government, (see figure 2).

c. IndonesiaMalaysia

Agreement for maritime limits between Republic of IndonesiaMalaysia have been implemented such as:

- The agreement for region sea limits (territorial sea limit) in Malacca Strait on March 17th, 1970, and legalization with the Act of Republic of Indonesia no. 2 Year 1971

- The agreement for continental shelf limits in Malacca Strait on October 27th, 1969 and legalization with the Act of Republic of Indonesia no. 89 Year 1969.

Boundary of Continental Shelf between both state have agreed according to agreement on 27 October 1969 in Kuala Lumpur Malaysia and ratified by Republic Indonesia Presidential decree no. 89 Year 1969. This agreement consist of 10 point Co-Ordinate in Malacca Strait and 15 point Co-Ordinate which divided for the area of East of Malaysia West counted 10 point Co-Ordinate and East s of Serawak Kalimantan island counted 5 point Co-Ordinate ( See figure 3).

3. Prospect Claim for Continental Shelf Beyond 200 Miles

According to the provision on article 76 UNCLOS 1982 and the Rules Procedure Commission Limits Continental Shelf also DOALOS (Division of the Law of the Sea) United Nations, has announced to all member states, that a member state has a right to propose a claim referred to the continental shelf limit till 2009. The coastal state has a right to claim continental shelf beyond 200 mile, such as : it is allowable if its seabed as region has certain requirements the depth as prolongation foot slope of the continental which is a line connection 100 NM from the depth of 2500 meters, 350 NM from the baselines , foot of the continent slope plus 60 NM formula and foot of the continent slope to 1 % sediment thickness.

Therefore, as its member the continental shelf party of Republic Indonesia together with Hydro-Oceanographic Office Indonesia (Dishidros TNI AL) will then continually analyze and discuss the possibility of it. Provisionally it is estimated there are three location which have the possibility to be claimed by Indonesia namely in the west of Sumatera island in Indian Ocean Region , in the North of Papua island on Pasific Ocean Region and in the South of Sumba Island waters , ( See figure 4,5 and 6).

Indonesia has been carrying out continental shelf survey in area west of Sumatera island in Indian Ocean Region using survey ship. The survey data could not be presented now since the survey is still underway. Furthermore, the other two prospecting area claim continent shelf in the North of Papua island in Pasific Ocean Region and in the South of Sumba Island waters will be surveyed and researched in the year 2006 – 2007.












Minggu, 07 Desember 2008

Menghitung Nilai Ekonomi Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut Akibat Penambangan Pasir Laut di Kep. Riau

*) Oleh : Drs. Haris Djoko Nugroho

1. Pendahuluan

Pengelolaan ekosistem pesisir dan laut yang berkelanjutan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan kesejahteraan masyarakat belum dilakukan secara efektif, sehingga di beberapa wilayah pesisir sudah mulai muncul fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, exploitative dan melampaui daya dukung lingkungannya. Dampak pemanfaatan tersebut mulai muncul, khususnya terlihat pada laju kerusakan fisik lingkungan pesisir yang semakin meningkat.

Masalah penambangan dan ekspor pasir laut di kepulauan Riau ke Singapura akhir-akhir ini banyak diberitakan media masa dan dibicarakan oleh masyarakat luas , apalagi setelah tertangkapnya bebarapa kapal keruk pasir oleh kapal perang TNI AL dan Bae Cukai beberapa waktu yang lalu. Maraknya penambangan dan ekspor pasir laut dipicu dengan adanya kegiatan reklamasi di pesisir Singapura yang mencapai 160 –180 km2 dengan volume kebutuhan pasir mencapai 1.815 juta m3 (Makarim, 2002) .

Menghitung atau valuasi nilai ekonomi kerusakan di kawasan pesisir dan laut merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apabila data dan waktu yang ada terbatas. Walaupun banyak alternatif metode yang dapat digunakan, namun ke dua hal tersebut tetap merupakan kendala oleh karena itu tulisan ini merupakan estimasi berdasarkan sejumlah asumsi namun hasilnya dapat mendekati kerusakan yang sesungguhnya dan cukup untuk menggambarkan betapa mahalnya nilai lingkungan tersebut.

2. Valuasi Ekonomi Kawasan Pesisir dan Laut

Valuasi ekonomi lingkungan pesisir dan laut merupakan upaya kuantifikasi sumberdaya yang terdapat di dalam pesisir dan laut dan jika diukur dari terminaloginya merupakan kesediaan untuk membayar atau willingness to pay untuk mendapatkan sumberdaya pada lingkungan tersebut, dengan demikian sasaran dari valuasi ekonomi lingkungan pesisir dan laut adalah ditujukan terhadap nilai ekonomi pasir laut dan nilai ekonomi ekologi yang ada di sekitarnya .

a. Identifikasi Manfaat, Nilai manfaat atau nilai kegunaan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : (1). Nilai manfaat langsung Direct use value (DUV) artinya, output (barang dan jasa) yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam yang secara langsung dapat dimanfaatkan ; (2). Nilai manfaat tidak langsung Indirect use value (IUV) artinya, barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung dapat di ambil dari sumberdaya alam tersebut. (Kusumastanto, 2000).

Dengan mengikuti dasar identifikasi nilai manfaat di atas, maka penilaian manfaat langsung lingkungan pesisir dan laut, Kepulauan Riau terdiri dari : nilai ekosisitem mangrove, nilai ekosistem terumbu karang, dan nilai ekosisitem padang lamun (sea grass). Sedangkan manfaat tidak langsung ditujukan pada nilai lingkungan pesisir dan laut antara lain : pilihan (biodiversity), nilai keberadaan (existence value) , penelitian, nilai fisik (pelindung pantai) dan nilai pariwisata .

1) Manfaat Mangrove, Berdasarkan hasil survei PKSPL- IPB tahun 1998 dan dari monografi propinsi Riau tahun 1997, diketahui bahwa di wilayah pesisir di Kepulaun Riau terdapat hutan mangrove sekitar 26.502,26 Ha atau 6,49 % luas hutan mangrove Indonesia.. Dilihat dari nilai kapitalisasi pasarnya, kayu mangrove merupakan komoditi yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Dengan asumsi 1 h ekosistem hutan mangrove mampu menghasilkan sekitar 18 m3 kayu/ha/th. (Al-Rasyid, 1989), dengan harga US$ 50,00/ m3 (Ruitenbeek, 1991) bila asumsi nilai tukar 1 US$ Rp. 9.000, maka nilai kapitalisasi manfaat kayu mangrove di lokasi tersebut adalah Rp. 8.100.000,-/ha/th.

Nilai fungsi hutan mangrove yang berasosiasi dengan keberadaan sumberdaya perikanan didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan di sekitar hutan mangrove tersebut. Menurut data Dinas Perikanan Propinsi Riau dan dari pelaku pasar diperoleh hasil tangkapan 0,885 ton/ha/th. dengan harga sebesar US$ 1.163,04 per ton (Gellwyn dan Dahuri, 1999) maka nilainya sebesar Rp 9.263.613,60 /ha/th.

Selain berdasarkan atas hasil tangkapan ikan, hutan mangrove sebagai habitat hewan liar (burung dan reptil) juga memiliki nilai yang harus diperhitungkan berdasarkan atas hasil tangkapan dan nilai pasar. Berdasarkan penelitian oleh PKSPL-IPB tahun 1998 di hutan mangrove kepulauan Riau, ditemukan 18 spesies burung dan 5 spesies reptil. Sementara dari hasil penelitian Ruitenbeek, 1991 nilai burung adalah US$ 0.12/ha/sp/th. dan nilai reptil US$ 0.73 ha/sp/th., maka diperoleh nilai fungsi ekosisitem untuk mangrove sebagai habitat wildlife , yaitu Rp. 19.440,-/ha/th dan Rp. 32.850,-/ha/th, sehingga total nilai manfaat untuk burung dan reptil sebesar Rp. 52.290,-/ha/th. Untuk nilai manfaat dari nener dan benur, berdasarkan nilai pasar dan pelaku pasar adalah Rp. 569.171,42,- ha/th. Nilai manfaat langsung seluruhnya Rp. 17.985.075,02,- ha/th.

Nilai manfaat tidak langsung seluruhnya Rp. 29.318.940,00,- ha/th., berupa nilai fisik sebagai pelindung pantai dihitung berdasarkan atas hasil studi (Dahuri, 1995) yaitu sebesar US$ 726,26 ha/th. jika nilai tukar 1 US$ Rp. 9.000,- diperoleh sebesar Rp. 6.536.340,-/ha/th, dengan asumsi nilai konstan/th. sementara berdasarkan hasil studi (Ruitenbeek, 1991) nilai pilihan (biodiversity) adalah US$ 15,00 ha/th sehingga nilainya sebesar Rp 135.000,-/ha/th dan nilai keberadaan (existence value) adalah US$ 2.516,40 ha/th setara dengan nilai Rp. 22.647.600,-/ha/th

2) Manfaat Terumbu karang, Terumbu karang di kepulauan Riau, terbentang di paparan dangkal hampir di semua pulau dan mempunyai tipe berupa karang tepi (fringing reef). Manfaat langsung dari terumbu karang dihitung dari hasil tangkapan perikanan yaitu : ikan karang, udang dan moluska, Dengan total luasan terumbu karang yang ada di wilayah kepulauan Riau 23.200,14 ha dan dengan asumsi yang diperoleh dari hasil perhitungan bahwa nilai tangkapan ikan sebesar US$ 103.575.720 atau setara Rp. 932.181.480,-, maka dapat diperoleh nilai tangkapan perikanan di kawasan terumbu karang kepulauan Riau adalah sebesar US$ 4.464,44 ha/th. atau Rp. 40.179.960,00,-ha/th , (PKSPL-IPB, 1998).

Hasil estimasi manfaat tidak langsung sebesar Rp. 239.244.305,70,- ha/th. karena keterbatasan data dihitung atas dasar manfaat terumbu karang sebagai objek penelitian dan pariwisata dihitung berdasarkan hasil studi Husni, dkk (2001) yaitu sebesar rata-rata Rp. 383.759,69 /ha/th. Manfaat sebagai penahan abrasi pantai didekati dari pembangunan pemecah gelombang (break water) apabila tidak ada ekosistem terumbu karang. Biaya pembangunan fasilitas break water ini diperkirakan sebesar Rp.232.001.400,-ha/th ( PT. Diagram, 1994 dalam Husni, dkk., (2001). Nilai Keberadaan (existance value) Pada dasarnya nilai keberadaan adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan ( Fauzi, 1999). Nilai ini didekati dengan melihat kemauan masyarakat untuk membayar (Willingness To Pay) seberapa besar nilai agar tetap terpeliharanya sumberdaya tersebut. Besarnya tergantung pada kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat yaitu Rp. 6.391.146 / ha/th.

Manfaat pilihan terumbu karang kepulauan Riau di didekati dengan menggunakan nilai manfaat dari keanekaragaman hayati (biodiversity). Menurut White dan Trinidad (1998) dalam Husni, dkk (2001), memberikan nilai biodiversity dari ekosistem terumbu karang sebesar US $ US $ 52 / ha / tahun, jika 1 US$ Rp. 9.000,- maka berjumlah Rp. 468.000 / ha / tahun.

3) Padang Lamun (sea grass), Ekosistem padang lamun memiliki peranan cukup penting dari sisi ekologis, yaitu berperan sebagai pelindung atau tempat kehidupan berbagai organisme di peraiaran pesisir (Fauzi, 1999 ; Tomascik et. al., 1977 dan Kusumastanto,1999). Ekosistem padang lamun (sea grass) hidup menyebar pada subtrat pasir berlumpur di perairan kepulauan Riau .

Manfaat langsung yang dapat diambil dari padang lamun sementara baru nilai fungsinya sebagai habitat hidup berbagai macam ikan (PKSPL-IPB, 1998), walaupun sudah dapat dimanfaatkan sebagai bahan sayuran namun belum dapat dihitung nilainya karena tidak ada data pemanfaatan maupun nilai produksinya. Nilai manfaat langsung yang diambil dari nilai perikanan diwakili oleh komoditas udang dan ikan sebesar US$ 56.419.620 bila luas total padang lamun di kepulauan Riau adalah 14.620,6 ha , maka diperoleh nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91 ha/th atau kedalam nilai rupiah berjumlah Rp. 34.730.214,90 /ha/th. (PKSPL-IPB, 1998).

Selain itu, diperoleh juga nilai tidak langsung sebesar Rp.31.499.575,00,-ha/th., yang berasal dari nilai cadangan biodiversity dan nilai sebagai pencegah erosi dengan nilai masing-masing sebesar US$ 15 ha/th atau berjumlah Rp. 135.000 /ha/th. dan US$ 34.871,75 ha/th atau setara Rp. 31.364.575,0 /ha/th. (Ruitenbeek, 1991 dan Kusumastanto, 1998).

b. Nilai Ekonomi Total , Berdasarkan pengidentifikasian seluruh nilai manfaat (Use Value) dari nilai manfaat langsung Direct use value (DUV) dan nilai manfaat tidak langsung Indirect use value (IUV) maka Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) yang diperoleh dari pemanfaatan lingkungan pesisir dan laut di kepulauan Riau, sebesar Rp. 392.958.070,60,- ha/th lihat tabel di bawah :

Tabel 1. Nilai Ekonomi Total (TEV) Pemanfaatan Lingkungan Pesisir dan Laut di Kepulauan Riau.

Manfaat

Mangrove

(Rp/ha/th)

Terumbu karang

(Rp/ha/th)

Padang lamun

(Rp/ha/th)

Perkiraan

Nilai Ekonomi Total (TEV)

Langsung (DUV)

17.985.075,02

40.179.960,00

34.730.214,90

Konstan/th.

Tidak Langsung

(IUV)

29.318.940,00

239.244.305,70

31.499.575,00

Konstan/th.

Nilai Total/Juta

(Rp/ha/th)

47.304.015,02

279.424.265,70

66.229.789,90

392.958.070,60

4. Penutup

Nilai Ekonomi Total/ Total Economic Value(TEV) yang harus dibayar bangsa Indonesia , khususnya masyarakat Riau sebesar Rp. 392.958.070,6 ha/th. Data terakhir dari Pemda Riau menyebutkan bahwa kerusakan sudah mencapai 40 % dari total lingkungan pesisir dan laut yang ada, maka estimasi kerugian mencapai nilai Rp. 3.481.865.862.000,- artinya tiga trilyun lebih yang harus dibayarkan atas kerusakan lingkungan pesisir dan laut akibat penambangan pasir laut ….?

DAFTAR PUSTAKA

Bengen D. G., 2001. Sinopsis Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Lautan. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut – IPB, Bogor.

Dahuri R., dkk., 1995. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

Dahuri R., 1999. Kebijaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pelatihan Untuk Pelatih – Penegelolaan Wilayah Pesisir Terpadu . SPL IPB, Bogor.

Fauzi dkk., 1999. Kerusakan Ekosisitem Padang Lamun (Sea Grass) Melalui Pendekatan Ekologi dan Ekonomi di Perairan Pesisir Lombok Timur. Makalah, Bogor.

Kusumastanto T., 2001. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut -IPB, Bogor.

Nyabakken JW., 1998. Biologi Laut. PT. Gramedia, Jakarta.

Sanim B., 1996. Teknik Valuasi Sumberdaya dan Jasa-jasa Lingkungan Wilayah Pesisir. Makalah PPLH-IPB, Bogor.

Yakin A., 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Akademika Presindo, Jakarta.

-----------, 2001. Valuasi Ekonomi dan Analisis Manfaat Biaya Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Belerang dan Bintan. PKSPL-IPB, Bogor.

-----------, 2001. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Lautan Provinsi Riau. PKSL-IPB, Bogor.

-----------, 2001. Valuasi Ekonomi dan Analisis Benefit-Cost Pemenfaatan Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Hiri, PKSPL-IPB, Bogor.

----------,1998. Kemampuan Survei dan Pemetaan Hidro-Oseanografi Dalam Mendukung Pembangunan Kelautan Nasional. Dishidros, Jakarta.


*) Penulis : Drs. Haris Djoko Nugroho,M. Si, Letkol Laut (KH) Nrp. 9150/ P, Staff Ditwilhan Strahan Dephan


PERANAN METADATA UNTUK PENYUSUNAN BASIS DATA SIG INSTANSI KELAUTAN


Oleh : Haris D. Nugroho

I. PENDAHULUAN

Sistem informasi Geografi (SIG), adalah suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras, perangkat lunak dan data untuk mendayagunakan sistem penyimpanan, pendinian, manipulasi, analisis dan penyajian hasil seluruh bentuk informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan (Karsidi 1995 dalam Nugroho 2001).

Saat ini penggunaan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) kelautan telah berkembang dengan pesat, salah satu komponen utama yang harus ada adalah data spasial/peta . Sebagai konsekuensinya tentunya semua pengguna : instansi/ lembaga, perguruan tinggi dan swasta yang akan menggunakan SIG kelautan akan mengumpulkan data sesuai dengan kebutuhan, tidak menutup kebutuhan banyak pengguna lain memerlukan data yang sama yang sudah tersusun tersebut.

Metadata adalah data menjelaskan tentang data yang meliputi informasi siapa pemilik data, tujuan penyusunan data, kualitas data, pengorganisasian data dan lain-lain (Wibowo et al. 2000). Metadata digunakan untuk menghasilkan data yang akurat, sesuai parameter standar untuk sebuah data dan menghindari overlap penyusunan data dari instansi/lembaga, perguruan tinggi , swasta yang menggunakan data kelautan.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan definisi metadata , peranan metadata dalam pengorganisasian data spasial di instansi kelautan serta software tool apa yang dapat dipakai untuk aplikasi metadata tersebut.

II. MAKSUD DAN TUJUAN

Metadata merupakan data mengenai data, yang menggambarkan isi, kualitas, kondisi dan karakteristik data. Metadata membantu untuk mengalokasikan dan memahami data yang ada (USGS 1994 dalam Wibowo et al. 2000). Maksud penyusunan metadata adalah untuk memberikan informasi ke pengguna lain tentang data yang dipunyai oleh suatu instansi serta cara mendapatkannya, sedang tujuannya adalah sebagai sarana pertukaran data antar instansi/lembaga kelautan agar duplikasi (overlape) penyusunan data kelautan dapat dicegah.

III. PERANAN METADATA

Suatu studi oleh United States Geological Survey (USGS) 1994, mengatakan metadata mempunyai 3 (tiga) peranan utama, yaitu :

1. Menyediakan Informasi Bagi Katalog Data dan Clearinghauses

Aplikasi SIG seringkali membutuhkan banyak tema, tetapi sedikit sekali instansi/lembaga yang mampu memenuhi semua tema data yang mereka butuhkan. Seringkali data yang dibuat oleh Instansi/lembaga juga bermanfaat bagi pengguna lain, dengan tersedianya metedata melalui katalog data dan clearinghause , maka pengguna lain yang membutuhkan dapat menemukan data yang mereka perlukan, selain itu juga sebagai patner untuk bersama-sama mengumpulkan data, menjaga data dan pemeliharaan data.

2. Mengatur dan Menjaga Keteraturan Pemasukan Data

Apabila terjadi pergantian personel yang mengawaki SIG seringkali informasi tentang data, yang merupakan tanggung jawab personel tersebut mungkin akan hilang sehingga data akan kehilangan nilainya. Sedangkan personel pengganti kurang memahami isi dan penggunaan basis data digital yang ada dan mungkin mereka tidak mempercayai hasil-hasil yang dimunculkan dari data yang ditinggalkan oleh personel sebelumnya, dengan adanya metadata keteraturan pemasukan data akan terjamin.

3. Menyediakan Informasi untuk Membantu Pentransferan Data

Metadata akan membantu instansi/lembaga menerima proses data dan menginterpretasi data, menggabungkan data ke basis data-nya dan memperbaharui katalog

internal pada basis data tersebut.

IV. JENIS METADATA

Metadata yang ada dewasa ini sangat beragam, dari yang sederhana sampai yang sangat rinci. Berikut ini beberapa jenis metadata yang sudah dipakai berbagai negara antara lain :

1. Dublin Core. Metadata yang paling sederhana dari elemen-elemen data, yang bertujuan untuk mendukung pencarian dan penemuan sumber-sumber informasi yang disebarkan oleh Web. Elemen Dublin Core terdiri dari 10 atribut standar sebagai berikut : Name, Identifier, Version, Registration Authority, Language, Definition, Obligation, Data type, Maximum Occurrence dan Comment.

2. ANZLIC (The Australia New Zealand Land Information Council). Metadata versi ANZLIC ini masih sederhana dan sangat umum pengelompokkannya, dimana elemen-elemen inti yang mempunyai informasi sama digabungkan ke dalam satu kategori. Informasi dari ketegori yang masih sedikit ini menyulitkan pemakai data untuk memutuskan apakah data tersebut dapat digunakan atau tidak, sedangkan keuntungannya sangat efesien dalam waktu dan tenaga karena sedikit kategori metadata yang dilengkapi , berikut merupakan contoh tabel elemen-elemen inti metadata versi ANZLIC :

Category

Element

Dataset

Title, Custodian, Jurisdiction

Description

Abstract, Search Word(s), Geographic Extent Polygon(s), Geographic Extent Name(s)

Data Currency

Beggining Date, Ending Date

Dataset Status

Progress, Maintenance and Updatae Frecuency

Acces

Store Data Format, Available Format Type, Acces Constraint

Data Quality

Lineage, Positional Accuracy, Attribute Accuracy

Contact Information

Contact Organisation, Contact Position, mail Address, Suburb or Place or Locality, State or Lacality 2, Country, Postcode, Telephone, Facsimile, Electronic Mail Address

Metadata Date

Metadata Date

Additional Metadata

Additional Metadata

3. FGDC (Federal Geographic Data Commite). Merupakan metadata yang dikeluarkan oleh United State Geological States (USGS), metada versi FGDC lebuh spesifik dan rinci pengelompokannya di mana masing-masing kategori mempunyai beberapa sub bagian yang totalnya hingga 220 item untuk menggambarkan data digital jumlah item tersebut menyebabkan daftar metedatanya sangat panjang dan istilah-istilahnya sangat susah untuk dimengerti. FDGC membagi metadata terdiri dari 2 (dua) kelompok besar, yaitu :

1. Kelompok Mayor CSDGM (Content Standard for Digital Geospatial Metadata), elemen-elemennya berupa : Identification Information : data set title, area covered, keyword ; Data Quality Information: horozantal and vertical accuracy ; Spatial Data Organization Information : raster, vector, or an inderect link to lacation; Entity and Attribute Information: lat/long, coordinate system, map projection ; Distribution Information: distributor, file format of data dan Metadata Reference Information: who maked the data and when.

2. Kelompok Minor CSDGM (Content Standard for Digital Geospatial Metadata) , elemen-elemennya berupa : Citation Information : originator, title, publication date, publiser ; Time Period Information : single date, multiple date ; Contact Information : contact person/organization, address, phone, email.

4. Core Elemen Metadata SIG Kelautan. Metadata yang akan dibangun untuk keperluan SIG kelautan, yang berisi data Geografi fisik dan data Geografi sosek sebaiknya dipilih dari elemen-elemen yang mengacu pada kombinasi dari ANZLIC dan FGDC serta mempertimbangkan core metadata yang lain.

V. SOFTWARE METADATA ENTRY TOOL

Software metadata entry tool yang dipakai terdiri dari 2 (dua), yaitu : MS Acces 97 atau versi terbaru digunakan untuk mengelola data metedata dan ESRI Map Object (Arc View 3.2) untuk menampilkan peta serta mengekstrak informasi dari tampilan peta .

VI. KESIMPULAN

1. Metadata sangat penting dan mutlak diperlukan untuk pengorganisasian data spasial dalam SIG , khususnya pada instansi/lembaga yang mengelola data kelautan.

2. Urgensi ini perlu disadari mengingat pemerintah telah membentuk jaringan kerjasama antar instansi/lembaga dalam penyediaan informasi metadata SIGNAS (Sistem Informasi geografis Nasional) dan apakah visi yang sama telah ada di instansi/lembaga kelautan yang ada di TNI AL...?


DAFTAR ACUAN


G. 2000. Core Metadata Element for Land and Geographic Directories in Australia and New Zealand . Australia : Australia New Zealand Information Council (ANZLIC)

Nugroho, H.D. 2001. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG). Makalah Kuliah Sistem Informasi Geografi (SIG) . SPL IPB, Bogor

Stitt, S. 2000. The FGDC Content Standard for Digital Spatial Metadata an Image Map .USA: USGS Biological Resources Division.

Subandar, A. 2000. Qua Vadis Sistem Informasi Geografi Kelautan. Makalah RS dan GIS BPPT , Jakarta

Wibowo, A., H. Fitry dan D. Purbani 2000. Penyusunan Standar Metadata untuk Penyusunan Katalog Data SIG. Makalah RS dan GIS BPPT , Jakarta